Teori Piaget
Teori Piaget berpendapat bahwa
perkembangan intelektual manusia dikendalikan oleh dua fungsi biologis utama
yaitu organization dan adaption (Piaget, 1952). Organization adalah konsep Piaget yang
berarti usaha mengelompokkan perilaku yang terpisah-pisah ke dalam urutan yang
teratur, ke dalam system fungsi
kognitif. Setiap level pemikiran akan diorganisasikan. Perbaikan terus menerus
terhadap organisasi ini adalah bagian inheren dari perkembangan (Santrick,
2008). Adaption merupakan sebuah
fungsi untuk menyesuaikan individu terhadap lingkungan dimana individu itu
tinggal dan di dalamnya meliputi dua proses yang tak terpisahkan yaitu
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah sebuah proses yang menggabungkan
pengetahuan yang baru ke dalam skema yang dimiliki individu yang sudah ada.
Di lain pihak, proses adaptasi yang
lainnya, akomodasi, cenderung untuk menyesuaikan skema yang ada atau secara
langsung menciptakan sebuah skema yang baru utnuk menyesuaikan pengalaman atau
informasi yang baru. Asimilasi dan akomodasi penting untuk proses ekuilibrasi.
Piaget berpendapat bahwa ada gerakan yang kuat antara keadaan ekulibrium
kognitif dan disekuilibrium saat asimilasi dan akomodasi bekerja sama dalam
menghasilkan perubahan kognitif (Santrock, 2008). Ada sebuah control biologis
yang digunakan untuk mengejar sebuah keadaan yang optimal tentang keseimbangan
antara struktur kognitif seorang individu dengan lingkungan yang ditinggalinya.
Ketika seseorang berinteraksi dengan lingkungannya, orang itu akan mencapai
proses ekuilibrasi jika struktur kognitif yang sudah ada bekerja dengan baik
untuk menjelasakan pengetahuan yang baru didapatkan. Ketika struktur kognitif
yang sudah ada gagal untuk bereaksi terhadap informasi yang baru,
disekuilibrium menyebabkan seseorang melakukan pengejaran terhadap
reekuilibrasi terhadap struktur kognitif yang ada. Individu ti akan beranjak
naik ke tingkat perkembangan ekuilibrasi yang
lebih tinggi setelah proses akomodasi terlaksana.
Salah satu strategi pengajaran utama
yang berdasarkan pada konstruktivisme adalah strategi konfllik kognitif.
Strategi ini berkembang berdasarkan pada asumsi yang menyebutkan bahwa
pengetahuan siswa yang sebelumnya mempengaruhi bagaimana cara mereka
mempelajari pengetahuan yang baru dan membentuk gambaran ide yang baru.
Strategi ini adalah sebuah keadaan dimana siswa merasa adanya ketidakcocokan
antara struktur kognitif mereka dengan keadaan lingkungan sekitarnya atau
antara komponen-komponen dari struktur kognitif mereka (Lee et al, 2003). Pada
gambaran ide yang ada pada siswa saat ini ditemukan permasalahan ilmiah, bila
permasalahan ini terus dibiarkan, maka akan menghambat siswa untuk mendapatkan
ide ilmiah di kelas. Para siswa mungkin tidak sadar bahwa pemahaman mereka itu
tidak sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh para pengajar (Tall, 1997).
Pengajar pu justru memiliki kekurangan pada kewaspadaan tentang kurangnya
pemahaman diakibatkan oleh pemahaman siswa yang tidak tepat terus dibiarkan.
Seperti yang dikatakan oleh Maier (Pathare & Pradhan, 2004). Sebuah cara
untuk memecahkan atau mencegah miskonsepsi adalah menghadapkan secara langsung
miskonsepsi itu dengan sebuah pengalaman yang menyebabkan ketidakseimbangan
yang diikuti oleh akomodasi yang disebutkan pada teori Piaget.
Strategi pengajaran konflik kognitif
ini mengikuti cara yang secara nyata menentang ide-ide siswa yang sudah ada
dalam rangka untuk memberanikan siswa dalam mengidntifikasi masalah pemahaman
mereka sendiri dan untuk memotivasi mereka dalam membangun sebuah pemahaman
yang tepat.
Teori
Vygotsky
Vygotsky (dalam Ibrahim, 1998: 18)
berpendapat bahwa proses pembentukan dan pengembangan pengetahuan anak tidak
terlepas dari faktor interaksi sosialnya melalaui intersaksi dengan teman dan
lingkungannya, seoarang anak terbantu perkembangan intelektualnya. Pandangan
Vygotsky tentang arti penting interaksi social dalam perkembangan intelektual
anak tampak dari empat kunci yang membangun teorinya, yaitu :
a.
Penekanan pada hakikat social
b.
Wilayah perkembangan terdekat (zone of proximal development)
c.
Pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship)
d.
Pemberian bantuan (scaffolding)
Salah
satu karakteristik dalam pembelajaran matematika realisitik adalah penemuan
konsep dan pemecahan masalah sebagai hasil seumbang gagasan para siswa.
Kontribusi gagasan tersebut dapat diwujudkan melalui proses pembelajaran yang
di dalamnya terdapat interaksi antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan
guru atau antara siswa dengan lingkungannya. Dengan demikian, selain ada
kativitas mental yang bersifat personal, dalam pembelajaran matematika
realistik guru perlu mendorong munculnya interaksi sosial antar anggota
kelasdalam proses membangun pengetahuan.
Melalui
interaksi sosial tersebut siswa yang lebih mampu berkesempatan menyampaikan pemahaman yang dimilikinya pada
siswa lain yang lebih lemah. Hal ini memungkinkan bagi siswa yang lebih lemah
tersebut memperoleh peningkatan dari perkembangan aktual ke perkembangan
potensial atas bantuan siswa yang lebih mampu. Sedangkan di sisi lain guru
mempunyai peran dalam membantu siswa yang kesulitan dengan member arah,
petunjuk, peringatan, dan dorongan.
Dengan
demikian tampak jelas bahwa proses pembelajaran matematika realistik sejalan
dengan teori Vygotsky yang memberikan tekanan pada pentingnya interaksi sosial
dalm perkembangan intelektual anak. Dalam hal ini, interaksi sosial antar
anggota kelas dapat diwujudkan melalui tahap mendiskusikan dan menegosiasikan
penyelesaian masalah di tingkat kelompok maupun tingkat kelas. Dalam diskusi
kelompok maupun kelas tersebut guru perlu mendorong semangat saling berbagi dan
menghargai pandangan pihak lain. Sedangkan interaksi yang dapat dibangun oleh
guru dengan para siswa adalah dengan memberikan bantuan seperlunya tanpa harus
membatasi keleluasaan siswa mengekspresikan ide-idenya.
Teori Ausubel
David Ausubel mengemukakan teori
tentang meaningful learning,
reinforcement, law of effect, law of readiness, dan law of exercise. Meaningful learning diartikan sebagai belajar
bermakna, yaitu belajar dengan melalui tahapan mengetahui, memahami,
mengaplikasikan, dan memilikinya untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Belajar
dengan cara menghapal saja tidak bermakna, misalnya guru menerangkan 3 x 4 = 12
kemudian dihafalkan adalah belajar pada tahap mengetahui saja namun belum bermakna, karena siswa belum
tentu mengerti mengapa hasilnya 12.
Vernon A Madnesen dan Peter Sheal
(dalam Suherman, 2008) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung
bagaimana cara belajar. Jika belajar hanya dengan membaca kebermaknaan bias
mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%,
mengatkan-komunikasi mencapai 70%, dan belajar serta mengkomunikasikan bias
mencapai kebermaknaan 90%.
Salah satu karakteritik pembelajaran
matematika realistik adalah penggunaan konteks. Penggunaan konteks dalam
pembelajaran matematika realistik berarti bahwa lingkungan keseharian atau
pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagaibagian materi belajar
bagi siswa. Apa yang terjadi di sekitar siswa maupun pengetahuan yang dimiliki
siswa merupakan bahan ynag berharga untuk dijadikan sebagai permasalahan
kontekstual yang menjadi titik tolak aktivitas berpikir siswa. Permasalahan
yang demikian lebih bermakna bagi siswa karena masih dalam jangkauan
pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk memecahkan
masalah kontekstual seoarang siswa harus dapat mengaitkan pengetahuan yang
dimilikinya dengan permasalahan tersebut.
Dengan demikian seorang siswa akan
berhasil memecahkan masalah kontekstual jika ia mempunyai cukup pengetahuan
yang terkait dengan masalah tersebut. Selain itu siswa juga harus dapat
menerapkan pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah kontekstual
tersebut. Dengan demikian penyajian masalah kontekstual untuk siswa dalam
pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori belajar bermakna
Ausubel.
Teori Bruner
Jerome Bruner mengemukakan bahwa
belajar akn efektif jika menggunakan struktur konsep sehingga tampak
keterkaitan antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya. Bruner
mengemukakan bahwa belajar yang baik adalah dengan cara menipulasi benda-peraga
dari alam kehidupan sekitar siswa (local
material), dengan cara ini pemaknaan terhadap materi bahan belajar menjadi
kuat tertanam dalam kognitif siswa. Pemanipulasian benda konkret tersebut
hendaknya dilakukan dengan proses komunikasi secara bertahap, yaitu enactive dengan cara memanipulasi benda
konkret secara nyata, iconic dengan
cara memanipulasi benda semi konkret-model-gambar, dan symbolic dengan memanipulasi simbol abstrak.
Selanjutnya, Bruner mengemukakan
pula teorema konstruksi dan teorema notasi. Teorema konstruksi (penyusunan)
adalah bahwa siswa akan memahami suatu konseo jika mereka diajak bersama
mengkonstruksi konsep tersebut, tidak diberitahukan begitu saja seolah
matemtika itu adalah kumpulan aturan. Siswa diajak membangun pengertian.
Teorema notasi adalah bahwa matematika menggunakan bahasa notasi (simbol) yang
disebut bahasa matematika. Akan tetapi penggunaan notasi hendaknya menggunakan
lambing-lambang yang sesuai dengan tahap berpikir siswa.
0 komentar:
Posting Komentar