This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label Artikel SPM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel SPM. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Januari 2013

Teori Pendukung Pembelajaran Realistik

Teori Piaget
            Teori Piaget berpendapat bahwa perkembangan intelektual manusia dikendalikan oleh dua fungsi biologis utama yaitu organization dan adaption (Piaget, 1952). Organization adalah konsep Piaget yang berarti usaha mengelompokkan perilaku yang terpisah-pisah ke dalam urutan yang teratur, ke dalam system fungsi kognitif. Setiap level pemikiran akan diorganisasikan. Perbaikan terus menerus terhadap organisasi ini adalah bagian inheren dari perkembangan (Santrick, 2008). Adaption merupakan sebuah fungsi untuk menyesuaikan individu terhadap lingkungan dimana individu itu tinggal dan di dalamnya meliputi dua proses yang tak terpisahkan yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah sebuah proses yang menggabungkan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang dimiliki individu yang sudah ada.
            Di lain pihak, proses adaptasi yang lainnya, akomodasi, cenderung untuk menyesuaikan skema yang ada atau secara langsung menciptakan sebuah skema yang baru utnuk menyesuaikan pengalaman atau informasi yang baru. Asimilasi dan akomodasi penting untuk proses ekuilibrasi. Piaget berpendapat bahwa ada gerakan yang kuat antara keadaan ekulibrium kognitif dan disekuilibrium saat asimilasi dan akomodasi bekerja sama dalam menghasilkan perubahan kognitif (Santrock, 2008). Ada sebuah control biologis yang digunakan untuk mengejar sebuah keadaan yang optimal tentang keseimbangan antara struktur kognitif seorang individu dengan lingkungan yang ditinggalinya. Ketika seseorang berinteraksi dengan lingkungannya, orang itu akan mencapai proses ekuilibrasi jika struktur kognitif yang sudah ada bekerja dengan baik untuk menjelasakan pengetahuan yang baru didapatkan. Ketika struktur kognitif yang sudah ada gagal untuk bereaksi terhadap informasi yang baru, disekuilibrium menyebabkan seseorang melakukan pengejaran terhadap reekuilibrasi terhadap struktur kognitif yang ada. Individu ti akan beranjak naik ke tingkat perkembangan ekuilibrasi yang  lebih tinggi setelah proses akomodasi terlaksana.
            Salah satu strategi pengajaran utama yang berdasarkan pada konstruktivisme adalah strategi konfllik kognitif. Strategi ini berkembang berdasarkan pada asumsi yang menyebutkan bahwa pengetahuan siswa yang sebelumnya mempengaruhi bagaimana cara mereka mempelajari pengetahuan yang baru dan membentuk gambaran ide yang baru. Strategi ini adalah sebuah keadaan dimana siswa merasa adanya ketidakcocokan antara struktur kognitif mereka dengan keadaan lingkungan sekitarnya atau antara komponen-komponen dari struktur kognitif mereka (Lee et al, 2003). Pada gambaran ide yang ada pada siswa saat ini ditemukan permasalahan ilmiah, bila permasalahan ini terus dibiarkan, maka akan menghambat siswa untuk mendapatkan ide ilmiah di kelas. Para siswa mungkin tidak sadar bahwa pemahaman mereka itu tidak sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh para pengajar (Tall, 1997). Pengajar pu justru memiliki kekurangan pada kewaspadaan tentang kurangnya pemahaman diakibatkan oleh pemahaman siswa yang tidak tepat terus dibiarkan. Seperti yang dikatakan oleh Maier (Pathare & Pradhan, 2004). Sebuah cara untuk memecahkan atau mencegah miskonsepsi adalah menghadapkan secara langsung miskonsepsi itu dengan sebuah pengalaman yang menyebabkan ketidakseimbangan yang diikuti oleh akomodasi yang disebutkan pada teori Piaget.
            Strategi pengajaran konflik kognitif ini mengikuti cara yang secara nyata menentang ide-ide siswa yang sudah ada dalam rangka untuk memberanikan siswa dalam mengidntifikasi masalah pemahaman mereka sendiri dan untuk memotivasi mereka dalam membangun sebuah pemahaman yang tepat.

Teori Vygotsky
            Vygotsky (dalam Ibrahim, 1998: 18) berpendapat bahwa proses pembentukan dan pengembangan pengetahuan anak tidak terlepas dari faktor interaksi sosialnya melalaui intersaksi dengan teman dan lingkungannya, seoarang anak terbantu perkembangan intelektualnya. Pandangan Vygotsky tentang arti penting interaksi social dalam perkembangan intelektual anak tampak dari empat kunci yang membangun teorinya, yaitu :
a.                   Penekanan pada hakikat social
b.                  Wilayah perkembangan terdekat (zone of proximal development)
c.                   Pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship)
d.                  Pemberian bantuan (scaffolding)
Salah satu karakteristik dalam pembelajaran matematika realisitik adalah penemuan konsep dan pemecahan masalah sebagai hasil seumbang gagasan para siswa. Kontribusi gagasan tersebut dapat diwujudkan melalui proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat interaksi antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru atau antara siswa dengan lingkungannya. Dengan demikian, selain ada kativitas mental yang bersifat personal, dalam pembelajaran matematika realistik guru perlu mendorong munculnya interaksi sosial antar anggota kelasdalam proses membangun pengetahuan.
Melalui interaksi sosial tersebut siswa yang lebih mampu berkesempatan  menyampaikan pemahaman yang dimilikinya pada siswa lain yang lebih lemah. Hal ini memungkinkan bagi siswa yang lebih lemah tersebut memperoleh peningkatan dari perkembangan aktual ke perkembangan potensial atas bantuan siswa yang lebih mampu. Sedangkan di sisi lain guru mempunyai peran dalam membantu siswa yang kesulitan dengan member arah, petunjuk, peringatan, dan dorongan.
Dengan demikian tampak jelas bahwa proses pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori Vygotsky yang memberikan tekanan pada pentingnya interaksi sosial dalm perkembangan intelektual anak. Dalam hal ini, interaksi sosial antar anggota kelas dapat diwujudkan melalui tahap mendiskusikan dan menegosiasikan penyelesaian masalah di tingkat kelompok maupun tingkat kelas. Dalam diskusi kelompok maupun kelas tersebut guru perlu mendorong semangat saling berbagi dan menghargai pandangan pihak lain. Sedangkan interaksi yang dapat dibangun oleh guru dengan para siswa adalah dengan memberikan bantuan seperlunya tanpa harus membatasi keleluasaan siswa mengekspresikan ide-idenya.

Teori Ausubel
            David Ausubel mengemukakan teori tentang meaningful learning, reinforcement, law of effect, law of readiness, dan law of exercise. Meaningful learning diartikan sebagai belajar bermakna, yaitu belajar dengan melalui tahapan mengetahui, memahami, mengaplikasikan, dan memilikinya untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Belajar dengan cara menghapal saja tidak bermakna, misalnya guru menerangkan 3 x 4 = 12 kemudian dihafalkan adalah belajar pada tahap mengetahui saja  namun belum bermakna, karena siswa belum tentu mengerti mengapa hasilnya 12.
            Vernon A Madnesen dan Peter Sheal (dalam Suherman, 2008) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cara belajar. Jika belajar hanya dengan membaca kebermaknaan bias mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatkan-komunikasi mencapai 70%, dan belajar serta mengkomunikasikan bias mencapai kebermaknaan 90%.
            Salah satu karakteritik pembelajaran matematika realistik adalah penggunaan konteks. Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika realistik berarti bahwa lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagaibagian materi belajar bagi siswa. Apa yang terjadi di sekitar siswa maupun pengetahuan yang dimiliki siswa merupakan bahan ynag berharga untuk dijadikan sebagai permasalahan kontekstual yang menjadi titik tolak aktivitas berpikir siswa. Permasalahan yang demikian lebih bermakna bagi siswa karena masih dalam jangkauan pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk memecahkan masalah kontekstual seoarang siswa harus dapat mengaitkan pengetahuan yang dimilikinya dengan permasalahan tersebut.
            Dengan demikian seorang siswa akan berhasil memecahkan masalah kontekstual jika ia mempunyai cukup pengetahuan yang terkait dengan masalah tersebut. Selain itu siswa juga harus dapat menerapkan pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah kontekstual tersebut. Dengan demikian penyajian masalah kontekstual untuk siswa dalam pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori belajar bermakna Ausubel.

Teori Bruner
            Jerome Bruner mengemukakan bahwa belajar akn efektif jika menggunakan struktur konsep sehingga tampak keterkaitan antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya. Bruner mengemukakan bahwa belajar yang baik adalah dengan cara menipulasi benda-peraga dari alam kehidupan sekitar siswa (local material), dengan cara ini pemaknaan terhadap materi bahan belajar menjadi kuat tertanam dalam kognitif siswa. Pemanipulasian benda konkret tersebut hendaknya dilakukan dengan proses komunikasi secara bertahap, yaitu enactive dengan cara memanipulasi benda konkret secara nyata, iconic dengan cara memanipulasi benda semi konkret-model-gambar, dan symbolic dengan memanipulasi simbol abstrak.
            Selanjutnya, Bruner mengemukakan pula teorema konstruksi dan teorema notasi. Teorema konstruksi (penyusunan) adalah bahwa siswa akan memahami suatu konseo jika mereka diajak bersama mengkonstruksi konsep tersebut, tidak diberitahukan begitu saja seolah matemtika itu adalah kumpulan aturan. Siswa diajak membangun pengertian. Teorema notasi adalah bahwa matematika menggunakan bahasa notasi (simbol) yang disebut bahasa matematika. Akan tetapi penggunaan notasi hendaknya menggunakan lambing-lambang yang sesuai dengan tahap berpikir siswa.

Kemampuan Koneksi Matematis

            Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menyampaikan suatu pesan dari pembawa pesan ke penerima pesan untuk memberitahu pendapat atau perilaku bail langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media. Di dalam berkomunikasi tersebut harus dipikirkan bagaimana caranya agar pesan yang disampaikan seseorang itu dapat dipahami orang lain. Untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, orang dapat menyampaikan dengan berbagai bahasa termasuk bahasa matematis.
            Kemampuan siswa dalam menyamapaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog atau slaing berhubungan yang terjadi di lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari siswa, misalnya berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian suatu masalah. Pihak yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di dalam kelas adalah guru dan siswa. Cara pengalihan pesannya dapat secara lisan maupun tulisan.
            Di dalam pembelajaran matematika di kelas, komunikasi gagasan matematika bias berlangsung antara guru dan siswa, antara buku dengan siswa, dan antara siswa dengan siswa. Menurut Hiebert setiap kali kita mengkomunikasikan gagasan-gagasan matematika, kita harus menyajikan gagasan tersebut dengan suatu cara tertentu. Ini merupakan hal yang sangat penting, sebab bila tidak demikian, komunikasi tersebut tidak akan berlangsung efektif. Gagasan tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan orang yang kita ajak berkomunikasi. Kita harus mampu menyesuaikan dengan system representasi yang mampu mereka gunakan. Tanpa itu, komunikasi hanya akan berlangsung satu arah dan tidak tepat sasaran.
            Within (1992) menyatakan kemampuan konunikasi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, dimana siswa diharapkan mampu menyarakan, menjelaskan, m]enggambarkan, mendengar, menanyakan, dan bekerjasama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Anak-anak yang diberikan kesempatan untuk berkerja dalam kelompok dalam mengumpulkan dan menyajikan data, mereka menunjukkan kemampuan baik di saat mereka saling mendengarkan ide yang satu dan yang lain, mendiskusikannya bersama kemudian menyusun kesimpulan yang menjadi pendapat kelompoknya. Ternyata mereka belajar sebagian besar dari komunikasi dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka.
            Menurut Utari Sumarno (dalam Sulastri, 2009), kemampuan komunikasi matematis siswa dapat dilihat dari kemampuan berikut :
·         Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika.
·         Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematis secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik, dan alajabar
·         Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika
Dalam konteks matematika, siswa dilibatkan secara aktif untuk berbagai ide dengan siswa lain dalam mengerjakan soal-soal matematika. Ketika sebuah konsep informasi matematika diberikan oleh seorang guru kepada siswa ataupun siswa dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika, memikirkan ide-ide mereka, menulis, atau berbicara dengan dan mendengarkan siswa lain, dalam berbagai ide, maka saat itu sedang terjadi transformasi informasi matematika dari komunikator kepada komunikan, atau sedang terjadi komunikasi matematika.
Komunikasi dalam pembelajaran matematika adalah penting. Komunikasi dalam matematika menolong guru memahami kemampuan siswa dalam menginterpretasikan dan mengekspresikan pemahamannya tentang konsep dan proses matematika yang mereka pelajari. Sebagaimana yang dikatakan Peressini dan Bassett (NCTM, 1996) bahwa tanpa komunikasi dalam matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika. Dalam bagian lain, Lindquist (NCTM, 1996) berpendapat “Jika kita sepakat bahwa matematika itu merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasan terbaik dalam komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi merupakan esensi dari mengajar, belajar, dan meng-assess matematika:. Jadi jelaslah bahwa komunikasi matematika merupakan kemampuan mendasar yang harus dimiliki pelaku dan pengguna matematika selama belajar dan mengajar matematika.
            Baroody (Ansari: 2003) mengatakan bahwa pembelajaran harus dapat membantu siswa mengkomunikasikan ide matematika melalui lima aspek komunikasi yaitu representing (representasi), listening (mendengar), reading (membaca), discussing (diskusi), dan writing (menulis).
Representing (representasi) adalah bentuk baru sebagai hasil translasi dari suatu masalah atau ide dan translasi suatu diagram atau model fisik ke dalam simbol atau kata-kata (NCTM, 1998: 26). Misalnya, representasi bentuk perbandingan ke dalam beberapa model kongkrit, dan representasi suatu diagram ke dalam bentuk simbol atau kata-kata. Representasi dapat membantu anak menjelaskan konsep atau ide, dan memudahkan anak mendapatkan strategi pemecahan masalah (Ansari, 2003:21).
Listening (mendengar) merupakan aspek penting dalam suatu komunikasi. Seseoarang tidak akan memahami suatu informasi dengan baik apabila tidak mendengar yang diinformasikan. Dalam kegiatan pembelajran mendengar merupakan aspek penting. Ansari (2003: 23) mengatakan bahwa mendengar merupakan aspek penting dalam komunikasi. Siswa tidak akan mampu berkomentar dengan baik pabila tidak mampu mengambil intisari dari suatu topik diskusi. Siswa sebaiknya mendengar dengan berhati-hati manakala ada pertanyaan dan komentar teman-temannya, baroody (Ansari, 2003: 23) mengatakan bahwa mendengar secara hati-hati terhadap pertanyaan teman dalam suatu grup juga dapat membantu siswa mengkonstruksi lebih lengkap pengetahuan matematika dan mengatur strategi jawaban yang lebih efektif. Pentingnya mendengar juga dapat mendorong siswa berfikir tentang jawaban pertanyaan.
Reading (membaca) merupakan salah satu bentuk komunikasi matematika adalah kegiatan membaca matematika. Membaca matematika memiliki peran sentral dalam pembelajaran matematika. Sebab, kegiatan membaca mendorong siswa belajar bermakan secara aktif. Istilah membaca diartikan sebagai serangkaian keterampilan menyusun intisari informasi suatu teks.
Kemampuan mengemukakan ide matematika dari suatu teks, baik dalam nentuk lisan maupun tulisan merupakan bagian penting dari standar komunikasi matematika yang perlu dimiliki siswa. Sebab, seseorang pembaca dikatakan memahami teks tersebut secara bermakna apabila ia dapat mengemukakan ide dalam teks secara benar dalam bahasanya sendiri. Karena itu, untuk memeriksa apabila siswa telah memiliki kemampuan membaca teks matematika secara bermakana, maka dapat diestimasi melalui kemampuan siswa menyampaikan secara lisan atau menuliskan kembali ide matematika dengan bahasanya sendiri.
Discussing (diskusi) merupakan salah satu wahana berkomunikasi. Dalam diskusi akan terjadi transfer informasi antar komunikan, antar anggota kelompok diskusi tersebut, diskusi merupakan lanjutan dari membaca dan mendengar. Siswa akan mampu menjadi peserta diskusi yang baik, dapat berperan aktif dalm diskusi, dapat mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya apabila mempunyai kemampuan untuk membaca, mendengar, dan mempunyai keberanian yang memadai. Diskusi dapat menguntungkan, melalui diskusi siswa dapat memberikan wawasan baru bagi per\sertanya, juga diskusi dapat menanamkan dan meningkatkan cara berpikir kritis.
Beberapa kelebihan dari diskusi kelas menurut Baroody (Ansari, 2003: 25) antara lain:
·         Dapat mempercepat pemahaman materu pembelajaran dan kemahiran menggunakan strategi
·         Membantu siswa mengkonstruksi pemahaman matematik
·         Menginformasikan bahwa para ahli matematika biasanya tidak memecahakan masalah sendiri-sendiri, tetapi membangun ide bersama pakar lainnya dalam suatu tim
·         Membantu para siswa menganalisis dan memecahakan masalah secara bijaksana

Writing (menulis) merupakan salah satu kemampuan yang berkontribusi terhadap kemampuan komunikasi matematis adalah menulis. Dengan menulis, siswwa dapat mengungkapkan atau merefleksikan pikirannya lewat tulisan (dituangkan di atas kertas atau alat tulis lainnya). Dengan menulis, siswa secara aktif membangun hubungan antara yang ia pelajari dengan apa yang ia sudah ketahui.

Pendekatan Realistik


Salah satu filosofi yang mendasari pendekatan realistik adalah bahwa matematika bukanlah satu kumpulan aturan atau sifat-sifat yang sudah lengkap yang harus siswa pelajari. Menurut Freudenthal (1991) matematika bukan merupakan suatu subjek yang siap saji untuk siswa, melainkan bahwa adalah suatu pelajaran yang dinamis yang dapat dipelajari dengan cara mengerjakannya.
            Dalam kerangka pendekatan realistik dalam pembelajaran matematika Freudenthal (1991) menyatakan bahwa “Mathematic as human activity”, yang artinya adalah matematika sebagai aktivitas manusia. Karenanya, pembelajaran matematika disarankan berangkat dari aktivitas manusia.
            Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, pembelajaran matematika dengan pendekatan relaistik adalah suatu pendekatan dengan cara penyampaian materi matematika yang didasari hal-hal nyata yang pernah dialami siswa agar siswa aktif dalam proses penemuan konsep-konsep matematika.
            Dalam filosofi realistik, kepada siswa diberikan tugas-tigas yang mendekati kenyataan, yaitu yang dari dalam siswa akan memperluas dunia kehidupannya. Kemajuan individu maupun kelompok dalam proses belajar - seberapa jauh dan seberapa cepat – akan menentukan spektrum perbedaan dari hasil belajar dan posisi individu tersebut.
            Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik diketahui sebagai pendekatan yang telah berhasil di Belanda. Ada suatu hasil yang menjanjikan dari penelitian kuantitatif dan kualitatif yang telah ditunjukkan bahwa siswa di dalam pendekatan relistik mempunyai skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan tradisional dalam hal keterampilan berhitung, lebih khusus lagi dalam aplikasi (Becker & Selter, 1996). Gagasan pendekatan realistik dalam pembelajaran metematika tidak hanya popular di negeri Belanda saja, melainkan banyak mempengaruhi kerjanya para pendidik matematika di banyak bagian di dunia (freudenthal, 1991; Gravemeijer, 1994; Streefland, 1991).
            Beberapa penelitian pendahuluan di beberapa Negara menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan realistik sekurang-kurangnya dapat membuat :
·         Matematika menjadi lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak terlalu formal, dan tidak terlalu abstark
·         Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa
·         Menekankan belajar matematika pada “learning by doing
·         Memfasilitasi penyelesaian matematika dengan tanpa penyelesaian (algoritma) yang baku.
·         Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika (Kuiper & Knuver, 1993).

Pengembangan pendekatan realisitik dalam pembelajaran matematika merupakan salah satu usaha meningkatkan kemampuan siswa memahami matematika. Usaha-usaha ini dilakukan sehubungan dengan adanya perbedaan antara ‘materi’ yang dicita-citakan oleh kurikulum tertulis dengan ‘materi yang diajarkan’, serta perbedaan antara ‘materi yang diajarkan’ dengan materi yang ;dipelajari siswa’ (Niss, 1996).
Terdapat lima prinsip utama dalam “kurikulum” matematika dengan pendekatan relastik (Tim MKPBM, 2001), yaitu:
1.      Didominasi olieh masalah-masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai sumber dan sebagai terapan konsep matematika;
2.      Perhatian diberikan pada pengembangan model-model, situasi, skema, dan simbol-simbol;
3.      Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajran menjadi konstruktif dan produktif, artinya siswa memproduksi sendiri dan mengkonstruksi sendiri (yang mugkin berupa algoritma, rule, atau aturan), sehingga dapat membimbing para siswa dari level matematika informal menuju matematika formal;
4.      Interaktif sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika; dan
5.      Interviewing (membuat jalinan) antar topic atau antar pokok bahasan.